Dari Diskusi IKL Kupang (2)
Biarlah Deposito Emas untuk Anak Cucu
Oleh Paul Burin
F. RAHARDI secara khusus menulis sebuah novel berjudul, Lembata. Lelaki asal Jawa Tengah ini membuat tulisan dengan seting khusus daerah itu karena tertarik dengan ragam kekayaan, terutama aspek pariwisata dan sumber daya alam di atas dan di bawah tanah.
Rahardi melakukan observasi hingga ke kampung-kampung. Ia ke Aliroba-Kedang, wilayah timur dan sempat bermalam di Udak, wilayah selatan. Ia juga mengitari Ile Ape, Uye Lewun, Labalekan dan Mingar. Hampir semua desa ia datangi. Begitu kisahnya.
Yang menarik ialah bahwa orang luar daerah menaruh perhatian khusus pada pulau seluas 1.266,39 km2 itu. Orang luar seperti F Rahardi pun terpanggil untuk membangunnya. Ia mengangkat fakta dari denyut kehidupan masyarakat Lembata.
Rahardi melihat angle lain dari daerah itu. Di satu sisi memiliki ragam kekayaan, namun di sisi lain masyarakatnya masih miskin. Kritikan yang dilontarkannya dalam cerita novel itu pun cukup pedas. Ia melihat peran gereja (hierarki) sangat kecil dalam memajukan daerah itu. Para pastor hanya bicara tentang iman, sedangkan kehidupan materi seakan diabaikan.
Karena itu, ketika novel ini diluncurkan pada tanggal 26 November 2008 lalu di Toko Buku Gramedia, Plaza Semanggi, Jakarta Selatan, Ayu Utami yang membedahnya kembali menggugat institusi gereja. Ayu Utami mengatakan, gereja mestinya melakukan banyak refleksi tentang kehidupan umat yang masih jauh dari standar kehidupan. Gereja mestinya mendorong umat untuk giat menata kehidupan ekonominya agar selaras dengan imannya yang terbilang maju. Dia bilang, dari segi iman orang Lembata itu maju. Namun, dari segi ekonomi masih terbelakang. Masih miskin.
Benar sebagaimana dikatakan F Rahardi. Tapi kini hierarki gereja pun mulai bangkit bersama umat menantang berbagai kebijakan publik yang keliru bahkan mungkin menyesatkan. Pater Vande Raring, SVD dan Romo Frans Amanue, Pr sebagai contohnya. Pater Vande bersama umat melakukan aksi protes bahkan berdemo di kantor Pemkab Lembata. Bersama umat dari wilayah Kedang dan Lebatukan, mereka menolak rencana tambang emas di Lembata.
Sedangkan Romo Amanue mengkritik kebijakan Bupati Flores Timur (Flotim), Felix Fernandez yang diduga melakukan berbagai kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) saat memimpin daerah itu.
***
Dalam diskusi terbatas yang diprakarsai Ikatan Keluarga Lembata (IKL) Kupang di Aula Puskud NTT, pekan lalu, persoalan tambang emas ini menjadi topik yang serius dibicarakan. Ketua IKL Kupang, Drs. Ignas Bataona, mengatakan bahwa ekses dari penambangan itu sendiri begitu banyak.
Pertama, masyarakat Lembata sendiri akan menjadi penonton di negeri sendiri. Ia hanya bisa menjadi buruh kasar, Satpam dan juru masak karena jauh dari high technology.
Berdasarkan pengalamannya ketika meneliti tambang emas di Timika, Papua tahun lalu, penduduk sangat rentan terhadap berbagai penyakit, seperti HIV/AIDS. Itu artinya, hubungan seks bebas di sana tak terbendung.
Di Timika ia menyaksikan kehidupan masyarakat biasa-biasa saja terutama dari aspek ekonomi. Jadi sebenarnya dampak ekonomi secara langsung itu sangat kurang bahkan tak ada. Kekayaan alam itu akhirnya "lari" ke elite tertentu. "Jangan sampai hal-hal seperti ini menimpa kita," katanya.
Ia juga mengatakan, hanya ada satu kata jika penambangan itu dilakukan, yakni "evakuasi" penduduk. Penduduk harus dipindahkan, entah ke mana. Berapa banyak desa di Lembata yang harus dievakuasi. Siapa yang membiayai. Di manakah relokasi itu.
Bone Pukan pada kesempatan itu mengatakan bahwa aksi protes yang dilakukan masyarakat setempat adalah sikap spontan. Bone mengatakan bahwa pemerintah dan DPRD Lembata seakan telah kongkalikong dengan PT Merukh Enterprise, perusahaan yang akan mengeksploitasi emas di Lembata.
Bone membeberkan beberapa fakta. Para wakil rakyat dan pemerintah telah melakukan pembohongan publik. Ketika ia mengikuti pertemuan di Hotel Menteng Jakarta, sekitar dua tahun lalu, pemerintah dan para wakil rakyat itu menyatakan siap "mengamankan" masyarakat. Dengan kata lain, tambang harus berjalan dan masyarakat tak boleh mempersoalkannya. Ungkapan itu disampaikan kepada investor.
Kemudian fakta lainnya, bahwa studi banding yang dilakukan pun hanya sekadar kamuflase. "Ke PT Newmon di NTB memang mereka pergi sebagaimana dilaporkan Pos Kupang. Tapi ke Manado, apakah mereka ke sana. Saya yakin mereka tak pergi dan saya memiliki data," kata Bonne.
Karena itu ia mengatakan, persoalan apa pun menyangkut tambang emas ini harus didiskusikan, dibedah, dibahas dan melibatkan semua stakeholder di Lembata. Jangan sebaliknya pemerintah dan Dewan menyatakan "ya" kepada investor sementara hak-hak masyarakat diabaikan.
Sedangkan Drs. Rafael Luon mengatakan bahwa benar tambang emas akan menyejahterakan masyarakat. Namun, dari sisi ekosistem alam, apakah pulau kecil itu tak akan mengalami persoalan di kemudian hari?
Rafael juga mengatakan bahwa seting awal tambang emas ini keliru. Karena semata untuk kepentingan elite tertentu. Ia menyebut salah satu contohnya, yakni penangkaran mutiara di Teluk Waienga yang dijaga ketat pasukan Brimob. Padahal wilayah itu milik masyarakat setempat.
Ia menggarisbawahi pernyataan Ketua IKL, Ignas Bataona yang menyebutkan bahwa masyarakat akhirnya menjadi asing di negeri sendiri. Rafael menawarkan agar setiap langkah yang diambil, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, harus melalui pendekatan budaya.
Aleks Lazar, anggota DPRD Lembata terpilih, mengatakan, masalah tambang emas mulai mencuat ketika ia masih menjabat sebagai Kepala Badan Pertanahan Kabupaten Lembata. Ketika itu Aleks mengatakan, dialah yang ditugaskan sebagai ketua tim tata ruang. Tugasnya adalah membuat peta berdasarkan koordinat tanah. Hasilnya, terdapat lima lokasi tambang emas.
Berdasarkan citra satelit, menyatakan bahwa di Lembata terdapat tambang emas. "Nah, apakah tambang itu dan berapa banyak depositnya, saya tak tahu. Setelah tanya sana sini, saya mendapat informasi bahwa untuk mengetahui kandungannya, lokasi itu harus dibor dari atas dan samping dengan kedalaman 250 meter. Jika terdapat lima titik dengan kedalaman bor 250 meter apakah pulau kecil itu tak rubuh?" katanya.
Meski ia mendapat penjelasan bahwa struktur bumi itu tak gantung, namun bentuknya seperti piramida, sebagai awam ia merasa tak aman. Apalagi daerah itu sebagai daerah vulkanik. Ketika terjadi gempa bumi, maka lima titik itu bisa tenggelam dan tentunya berdampak buruk pada kehidupan masyarakat setempat.
Menurut Herman Wutun, Lembata memang kaya. Dan, ternyata masih banyak kekayaan di atas tanah yang belum dikelola. Karena itu, kekayaaan itu harus dieksploitasi secara maksimal. Pemerintah agar membuka akses jalan ke semua wilayah potensial untuk mendorong perekonomian, selain aspek pariwisata. Sebab begitu banyak sentra ekonomi di Lembata yang belum dijamah pemerintah. Sebaliknya, Herman mengatakan, biarlah deposito emas yang ada untuk anak dan cucu kita. (bersambung)